Charles Swindoll seorang gembala dan pengarang berbagai buku kristen pernah berkata begini :
“We must cease striving and trust God to provide what He thinks is best and in whatever time He chooses to make it available. But this kind of trusting doesn’t come naturally. It’s a spiritual crisis of the will in which we must choose to exercise faith.”.
Dia benar! Kepercayaan jenis di atas bukanlah kepercayaan yang alami. Kita memilih untuk melatih iman kita dengan mempercayakan segala sesuatunya di tangan Allah.
Dalam 2 Raja-Raja 6 : 8 – 23, Cerita Elisa menggambarkan jenis kepercayaan seperti ini. Ketika itu, Raja Aram memerintahkan untuk membunuh Elisa dan mendatangkan ribuan pasukan ke depan rumahnya untuk menyerangnya.
Kita tahu bahwa Elisa adalah seorang nabi, dan rumahnya sebagai rumah nabi bukanlah benteng pertahanan yang dijaga ketat oleh para tentara. Ketika ribuan pasukan Aram datang menyerangnya, Elisa tentunya tahu bahwa dia takkan mampu menghadapi mereka yang banyak itu bersama rombongan orang rumah yang isinya hanyalah para nabi.
Dalam situasi terdesak seperti demikian, sewajarnya Elisa panik dan ketakutan seperti yang dialami bujangnya. Akan tetapi, dalam 2 Raja-raja 6 :17 dikatakan bahwa Elisa meminta Tuhan membuka mata bujang itu sehingga dia dapat melihat pasukan “tak kasat mata” dari Allah yang siap melawan pasukan Aram ini.
Elisa melihat bahwa masalah yang sangat besar yakni nyawanya yg terancam, situasi yang mencekam, tidak ada jalan keluar lain karena sudah dikepung pasukan Aram itu tidaklah lebih besar dari Allah yang diimaninya.
Dia meletakkan seluruh kepercayaannya kepada Allah.
Dalam hidup kita, apakah pernah kita menghadapi kejadian seperti Elisa dimana tidak lagi ada jalan keluar bagi masalah-masalah kita.
Seringkali, ketika kita didesak oleh masalah, kita begitu terfokus melihat kepada masalah kita sehingga kita tidak melihat jalan keluar yang disediakan.
Ketika kita bertemu dengan masalah, kita cenderung melihat dengan mata kita bukan dengan mata iman kita.
Memang, seringkali kita membaca status di facebook atau kicauan teman kita di twitter atau kutipan instagram bahwa “Allah kita lebih besar daripada masalah-masalah kita”. Ya, itu benar! semua orang setuju dengan hal itu.
Namun, ketika masalah mendesak kita, ada dua kecenderungan yang terjadi. yang pertama adalah kita dibutakan oleh masalah-masalah kita sehingga tidak mampu memandang kepada Allah yang besar itu! yang kedua adalah kita menjadikan Allah sebagai hamba yang bersedia kapan saja menyelesaikan masalah-masalah kita.
Tipe yang kedua seringkali terdengar rohani bagi kita. Karena kita percaya bahwa Allah lebih besar dari masalah-masalah kita maka kita cenderung beranggapan bahwa dengan menyerahkan masalah-masalah ke dalam tangan Tuhan maka masalah itu akan selesai dengan sendirinya.
Kita belajar bahwa dalam situasi terdesak, iman Elisa menolongnya berpartner dengan Allah.
Dia tahu bahwa Allah itu berkuasa namun tidak serta-merta meletakkan segala masalahnya di tanganNya seolah-olah Allah itu adalah suruhannya. Dia memandang kekuasaan Allah dengan mata iman dan bekerja-sama (berpartner) dengan Allah melewati masalah-masalahnya dengan caraNya yang unik.
Desember tahun 2017 lalu, saya masih bekerja di sebuah corporate di Jakarta, akhir tahun yang cukup sukar mengingat proses restrukturisasi yang membuat tidak nyaman dan tekanan KPI yang sangat tinggi di tengah tuntutan sekaligus perubahan yg terjadi. Dalam dua bulan terakhir 5 orang teman resign dari divisi kami.
Saya masih ingat perasaan-perasaan takut yang muncul di antara teman-teman seruangan yang akhirnya memenuhi seisi ruang dan pekerjaan. Puji Tuhan, masih ada Elisa-Elisa jaman ini yang menyerahkan seluruh ketakutan akibat perombakan struktur dan perubahan strategi itu ke dalam tangan kasih Allah. Saya ingat, setiap pagi kami masih saling mengingatkan untuk saling mendoakan.
Hanya doa yang bisa menolong kami melewati tahun kemarin dengan baik.
KPI buruk bisa berakibat gagal bonus, gagal naik gaji, dan efek kinerja lainnya. Bagian tersulit sebenarnya meredakan rumor subyektifitas dan kesenjangan yang ada! Namun, Tuhan baik! Allah bekerja melalui orang-orang sedivisi bahkan mengirimkan orang baru paska restrukturisasi, hingga ketika aku kembali ke Jogja di bulan Juli itu, situasi sudah lebih tenang dari akhir tahun lalu.
Akhir dari cerita Elisa juga sama yakni sejak saat itu, gerombolan Aram tidak lagi memasuki negeri Israel. Ya, a happy ending story!
Karena Elisa tahu bahwa jalan keluar satu-satunya adalah bersama Allah. with God is the only way out!
Semoga tantangan-tantangan di tahun depan sanggup dihadapi karena kita berpartner dengan Allah dan berjuang dengan Dia!
Selamat berpengalaman dengan Allah menuju akhir tahun 2018! Tuhan sedang mengerjakan yang baik dalam hidup kita! He is the only way out![GN]