Tanggal 18 Juni ini tepat 3 bulan JOY menerapkan WFH dan menghentikan semua pertemuan tatap muka. Sebagai staff Mass Meeting saya sebenarnya cukup resah karena seolah-olah tidak ada hal berarti yang bisa kami lakukan selama karantina ini. Segala rencana yang sudah dibuat akhirnya harus ditunda bahkan dilewatkan. Yang bisa kami lakukan sampai saat ini yaitu membuat pertemuan ministry secara online setiap minggu, menanyakan kabar dan sharing dari perenungan singkat yang di post di Instagram JOY setiap Jumat. Sebagai variasi, kadang pertemuan diselingi dengan games. Kami menyadari bahwa yang bisa kami lakukan cukup terbatas. JOYer sudah cukup jenuh dengan tugas-tugas dan pertemuan-pertemuan online. Tidak jarang terdengar celetukan, mereka sudah bosan dan ingin bertemu kembali dengan teman-teman di SC. Di tengah segala keterbatasan, saya juga mencoba terus meng-encourage para JOYer yang saya dampingi.
Meskipun hanya bisa bersua secara online dan tidak semua orang bisa terjangkau, dengan waktu yang sempit para JOYer menghabiskan waktu pertemuan ministry dengan mensharingkan kabar satu sama lain. Masing-masing dengan pergumulannya tetap terus menguatkan satu sama lain. Bersyukur untuk mereka yang masih terus setia untuk terus berkomunikasi dan menyapa temannya setiap minggu.
Sambil menunggu situasi menjadi normal saya pun terus bergumul mengenai pelayanan saya. Ada perasaan menyayangkan, bahwa di bulan-bulan terakhir saya melayani di JOY saya tidak bisa memberikan banyak hal. Tapi kemudian Allah mengingatkan saya bahwa saya malah mendapatkan kesempatan untuk mendampingi JOYer lebih lagi dibanding waktu-waktu sebelumnya. Sebelumnya waktu pertemuan kami habiskan dengan membahas program demi program, event demi event.
Waktu untuk mendamping JOYer secara personal pun terbatas. Sekaranglah saat yang paling tepat untuk lebih mendampingi mereka dan mendengar pergumulan mereka.
Dalam begitu banyak waktu luang yang saya habiskan sendiri, dan dalam beberapa minggu ketika menyiapkan renungan mingguan, satu hal yang sering terlintas dalam benak saya: Bagaimana manusia bisa mempercayai Allah ditengah ketidakpastian ini? Ada perasaan tidak menentu, bahwa masa depan tidak pasti dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Begitu banyak informasi yang meresahkan. Jutaan orang terjangkit corona, ratusan ribu jiwa meninggal, banyak yang terpisah dari orang-orang yang dikasihi, dan entah berapa banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan kehilangan pekerjaan.
Mau tidak mau, saya juga mulai merasakan kekhawatiran akan masa depan saya dan orang-orang terdekat saya.
Namun entah mengapa selama pandemik ini justru saya merasakan pemeliharaan yang sungguh nyata dari Allah lewat hal-hal kecil dan dari orang-orang yang tidak saya duga.
Pada saat-saat ketika saya merasa cemas, alih-alih menjadi panik, saya mencoba melihatnya sebagai kesempatan untuk mengalihkan fokus saya ke sesuatu yang mengingatkan saya bahwa Allah yang memegang kendali akan kehidupan.
Matius 6:31-33 yang seringkali menjadi penguatan bagi saya.
Tidak peduli seburuk apapun situasi dan meskipun hari-hari tidak pasti tapi Bapa di Sorga selalu tahu kebutuhan kita dan pemeliharaan-Nya akan terus ada, bagi saya dan bagi teman-teman sekalian. [Presti]
Tinggalkan Balasan